Kupu-kupu; Insektarium

Sering dibayangkannya sebuah sayap rentang dan kepak di punggungnya. Di hadapan cermin, Aluri berkaca. Matanya mematut pantulan tubuh mungil bugilnya, tapi isi kepalanya lebih visual dan imajiner membentuk citranya, menambal tepian tubuhnya dengan lekuk-lekuk warna kelabu transparan, bidangnya diurati rangka tipis dan jalar serupa ranting-ranting gundul kering tua, dengan kontur lentur halus serupa selaput, lebar, berkepak-kepak. Sayap kupu-kupu. Ia ingin menjadi itu. Baginya, tubuh telanjangnya adalah poros yang bakal seimbang dengan dua layar di kiri kanan, membikinnya terbang, menunggang angin yang hanya embus dalam tempurung kepalanya. Jauh menuju antah.

Ia angkat tangannya. Bunga-bunga kembang di bawah-bawah kakinya. Lampu matahari sorot membentuk tajam siluetnya. Ia berkitaran di kamarnya. Terbang cantik. Kubus itu menjelma taman dengan rumput-rumput tinggi dan hijau gelap namun cerlang oleh gizi embun, tumbuh tak beraturan. Sebab tak bertuan, tak bertangan. Aluri berkupu-kupu di situ, sekonyong-konyong menemukan nektar dan menghisapnya dari kap lampu belajar.
Di atas ranjangnya yang dirambati dedalu, ia hinggap dan tapa. Mengeja ingatan demi ingatan hingga terbaca dan tak jarang terlupakan. Membayangkan sosoknya yang ratu dan ranum, dengan gelimpangan keterasingan yang cuma bisa diinderai oleh miliknya. Kadang ia bosan membayangkan dirinya cantik dan rapuh. Takut dan bergetar hingga sayap-sayapnya katup dan lamat-lamat layu. Kupu-kupu jelma ngengat yang muram dan abu-abu. Setelah pintu dikuak, dan seseorang masuk dan menebar jaring.
***
Alkisah, seorang tua berambut putih menemukan taman itu. Tapi ia tahu itu bukan taman rahasia, itu taman yang sudah ia simpan dan peram namanya dalam kepala, yang kemudian diterjemahkannya kala malam dan lengang. (Tapi akhirnya ia tahu, taman itu petak-petak labirin tak bertepi, dengan monster kepala banteng yang dahaga dan ganas). Tak perlu peta dan belajar tanda pada rasi bintang. Si Uban hanya butuh jala, satu set perkakas insektarium, dan segudang ingin dan harus. Taman itu adalah alamat yang membikinnya menahan lolong karena aroma-aroma primitif yang aneh dan candu.
Dengan kecakapan dan perlengkapan berburu, ia menguasai. Membuat kupu-kupu tidur di atas talenan, lalu pindah dan nempel pada perut bingkai. Hidup mati, atau mati hidup. Barangkali mumi. Sementara tangan si tua ini, akan terangkat dari bingkai dengan ujung jemari kisut oleh klorofom. Mungkin saja begitulah cara ia memuja.
Kupu-kupu tak pernah menyimpan racun pada sayapnya. Tapi ia menyimpan rapuh dan ringkih, sebagaimana sayapnya yang rentan koyak bahkan oleh kilas cium reranting apalagi cambuk angin. Kadang hatinya terenyuh membayangkan betapa keindahan diciptakan untuk disesap dengan cara yang anomali. Menjadi pembunuh perasaan, misalnya. Atau menjadikannya tak lekang serupa spesimen dalam tabung dan guci. Kupu-kupu itu mumi di balik kaca, dengan mata terbuka, jernih tanpa halang seari pun meski pada nyatanya ia tahu di situ, pada jernih dan telanjang itu, sebenarnya bergumul tebal kabut dan ada gigil yang fragil.
Si Uban mundur sebentar. Begitu suka dengan caranya membikin kupu-kupu awet dalam muda dan rapuhnya dalam bingkai kaca. Dalam insektarium khayalinya.
***
Ada saatnya Aluri melipat dan menyimpan sayapnya ke dalam palung pikirannya. Rahasia punya ruang. Palung tempatnya untuk menyempal dan mengatupnya serapat dengkul menahan kencing yang amat. Di situ kupu-kupu seakan masuk dan janin dalam pupanya kembali, begitu juga taman dan seisinya—semua dilipat Aluri semudah melipat uang kertas dan menyembunyikannya di saku kemeja.
Di luar kamarnya, ia hidup dalam gersang dan takut. Sejak Miriam menikahi Si Uban itu, ia sering mengalami ketakutan yang susah untuk ia ceritakan. Perasaan yang sulit ia gambarkan; Alexithymia. Bahkan tak mau ia bagi sebagai obrolan meja makan apalagi curahan sang gadis untuk ibunya. Ketakutan yang mengepungnya seolah-olah ia berada di tengah labirin dengan seekor minotaur yang lapar dan belingsatan. Ada darah yang alir dari tubuhnya dan minotaur sudah membaui dangan lendir di leher yang gelegak. Ada kalanya ia melihat Si Uban itu seperti banteng setengah manusia yang barbar, atau bila Miriam ada, ia akan menjadi manusia setengah banteng yang arif dan sabar.
Dan Aluri, dalam imajinasi malamnya yang dalam dan biru itu, kerap membayangkan kutukan minotaur akan terangkat bila membunuh seekor kupu-kupu. Pikiran liarnya yang aduhai dan melankolik dan tidak direkam dalam mitos. Ia bergedik membayangkan insektarium ciptaan Si Uban. Sebuah peti mungil yang dekor oleh cakar-cakar kukunya sebab menahan pedih ketika benda majal memasuk dan menusuk dirinya, dan klorofom cuat membuatnya bius dan kebas. Membikinnya mumi. Dan bagaimana jari-jari tangan itu membentuk pinset yang ramping dan rinci, namun menyebarkan dingin yang maha hingga kuduknya meremang, dan beku seakan-akan turun dari langit untuk membungkus detik dan menit, dan tak pernah ada malam yang terasa panjang selain kupu-kupu yang dipreteli di atas meja berahi, dengan seorang maniak bermata lensa yang teliti dan sesekali menjatuhkan liur sebagai ungkap alam bawah sadarnya.
Ia takut. Takut disergap. Takut dijala. Selalu.
Tapi Miriam… ia melindunginya dengan ketidaktahuan yang mendekati ketololan. Miriam, kupu-kupu tua yang keliar di malam. Miriam adalah cermin yang membuatnya tahu seperti apa hidup dalam insektarium yang sempit dan sesak. Cantik itu pajangan, dan jari-jari nakal dan kumal dan barbar yang mengemasnya. Dulu, Aluri tak berani membayangkan bagaimana jadinya kelak bila ia menjadi mirip ibunya. Tapi, diam-diam ia sudah diajarkan bagaimana menjadi kupu-kupu yang jinak dan anggun, dengan sayap yang bongkar-pasang, dengan (barangkali) minotaur yang siap melahap dan memeliharanya dalam perut. Sebagaimana dulu ibunya.

by: Mardian Sagiant

Leave a comment